Kabarnya, Islandia adalah kawasan geografis yang paling terakhir dihuni manusia. Dalam arti kata lain, manusia baru saja menginjakkan kaki dan tinggal di Islandia tahun 870–930 M, oleh imigran dari Norwegia. Karenanya, warga negara Islandia, atau Icelander, sering disebut sebagai masyarakat yang paling beruntung dan dipercaya oleh Tuhan. Bagaimana tidak, negara yang begitu indah, murni dan bisa dibilang “terisolir”. Saya pun setuju dengan predikat tersebut.
Setelah berkeinginan selama 10 tahun lebih, dimulai dengan dibelinya buku Lonely Planet edisi Iceland edisi 2014, akhirnya kami sekeluarga bisa mampir selama 10 hari di Islandia, pada awal musim dingin, minggu pertama dan kedua Desember 2022. Tepat satu tahun setelah border Islandia dibuka.
Secara geologi, Islandia adalah kawasan yang terhitung aktif. Bagaimana tidak, pulau Islandia sendiri terbentuk dari tekanan vulkanis dari dalam bumi yang menyeruak ke atas, membentuk Icelandic Plateau, atau Dataran Islandia. Dataran ini terbagi dua, karena ada patahan di tengah-tengahnya yang disebut Mid-Atlantic Ridge. Karenanya, di pulau ini terdapat salah satu dari sedikit patahan yang ada di atas tanah. Biasanya patahan ada di bawah laut. Karena aktif secara geologis pula, banyak gunung bereapi di sini. Laki, Hekla, Eldgjá, Herðubreið, dan Eldfell adalah di antaranya. Selain itu, gunung berapi Eyjafjallajökull yang meletus pada tahun 2010 menjadi letusan besar terakhir di sini yang menyebabkan penerbangan seluruh Eropa diberhentikan selama April 2010, dan terganggu sampai berbulan-bulan.
Seperti Indonesia yang vulkanis dan aktif secara geologi, bahaya besar selalu menanti warganya, tetapi mereka juga diganjar dengan lanskap yang dramatis. Mendarat di Islandia, kita bisa melihat dengan jelas dari atas bagaimana bandara internasional Keflavik berada di dataran yang relatif flat tetapi tidak jauh dari situ, Reykjavik, ibukotanya, dikelilingi pegunungan yang putih bersalju. Menyetir selama 10 hari di sini, seperti mendarat di planet lain, kemudian menyusuri daerah-daerah yang berbeda di sini, bahkan hanya beda 30 menit menyetir, seperti dibawa ke planet lain yang berbeda lagi. “Seperti tidak di bumi,” kata Lintang. “Bulannya bisa bulat seperti telur dan menyala terang seperti lampu,” kata anak kami. Saya pun tidak berhenti-hentinya minta berhenti di pinggir jalan ketika golden hour untuk mengambil foto nan epik dan apik. No filter needed!
Perjalanan kami di Islandia baru saja dimulai, disambut hujan deras dan terpaan angin kencang. Dengan menggeret koper dan ransel (ya, ironisnya) kami—dengan naifnya, padahal bisa naik shuttle bus—jalan kaki di tengah hujan dan dingin menuju lokasi pengambilan mobil sewa, Blue Car Rental. Setelah terbata-bata selama 20 menit, kami pun sampai.
Kacamata berembun dan basah. Saya hanya bisa melihat sedikit di balik embun di kacamata, ada seorang lelaki di resepsionis yang mengarahkan kami ke bagian self checkin. Ternyata di gedung sebelah…
Proses pengambilan kunci mobil begitu cepat dan nyaman, bahkan SIM internasional kami tidak diperlukan, apalagi SIM Indonesia. Kami langsung ke belakang gedung dan mencari mobil kami sendiri.
Perjalanan dimulai. Hari ke-1. Perhentian pertama: Supermarket dekat bandara untuk stock up makan malam, dan lanjut satu jam perjalanan ke Selfoss—salah satu kota tertua di sini, yang akan menjadi base kami mengeksplorasi Golden Circle.